Ø Sejarah Pendiria
Info sumber mengenai pusat kerajaan tidore belum
dapat dipastikan sejak awal berdirinya hingga raja yang ke-4. Barulah pada era
Jou Kolano Balibunga, informasi mengenai pusat kerajaan Tidore sedikit terkuak,
itupun masih dalam perdebatan. Tempat tersebut adalah Balibunga, namun para
pemerhati sejarah berbeda pendapat dalam menentukan di mana sebenarnya
Balibunga ini. Ada yang mengatakannya di Utara Tidore, dan adapula yang
mengatakannya di daerah pedalaman Tidore selatan.
Pada tahun 1495 M syariat islam mulai digunakan
dalam system pemerintahan kerajaan. Gelar raja berubah menjadi Sultan. Sultan
Ciriliyati naik tahta dan menjadi penguasa Tidore pertama yang memakai gelar
Sultan. Saat itu, pusat kerajaan berada di Gam Tina. Ketika Sultan Mansyur naik
tahta tahun 1512 M, ia memindahkan pusat kerajaan dengan mendirikan
perkampungan baru di Rum Tidore Utara. Posisi ibukota baru ini berdekatan
dengan Ternate, dan diapit oleh Tanjung Mafugogo dan pulau Maitara. Dengan
keadaan laut yang indah dan tenang, lokasi ibukota baru ini cepat berkembang
dan menjadi pelabuhan yang ramai Dalam
sejarahnya, terjadi beberapa kali perpindahan ibukota karena sebab yang
beraneka ragam. Pada tahun 1600 M, ibukota dipindahkan oleh Sultan Mole
Majimo(Ala ud-din Syah) ke Toloa di selatan Tidore. Perpindahan ini disebabkan
meruncingnya hubungan dengan Ternate, sementara posisi ibukota sangat dekat,
sehingga sangat rawan mendapat serangan. Pendapat lain menambahkan bahwa, perpindahan
didorong oleh keinginan untuk berdakwah membina komunitas Kolano Toma Banga
yang masih animis agar memeluk Islam. Perpindahan ibukota yang terakhir adalah
ke Limau Timore di masa Sultan Saif ud-din (Jou Kota). Limau Timore ini
kemudian berganti nama menjadi Soa-Sio hingga saat ini.
Ø Masa Kejayaan
Kesultanan Tidore mencapai Masa kejayaan Kesultanan
Tidore ketika pada masa pemerintahan Sultan Nuku (1780-1805 M). Sultan Nuku
dapat menyatukan Ternate dan Tidore untuk bersama-sama melawan Belanda yang
dibantu Inggris. Belanda kalah serta terusir dari Tidore dan Ternate. Sementara
itu, Inggris tidak mendapat apa-apa kecuali hubungan dagang biasa. Sultan Nuku
memang cerdik, berani, ulet, dan waspada. Sejak saat itu, Tidore dan Ternate
tidak diganggu, baik oleh Portugis, Spanyol, Belanda maupun Inggris sehingga
kemakmuran rakyatnya terus meningkat. Wilayah kekuasaan Tidore cukup luas,
meliputi Pulau Seram, Makean Halmahera, Pulau Raja Ampat, Kai, dan Papua.
Pengganti Sultan Nuku adalah adiknya, Zainal Abidin. Ia juga giat menentang
Belanda yang berniat menjajah kembali.Kerajaan Tidore terkenal dengan
rempah-rempahnya, seperti di daerah Maluku. Sebagai penghasil rempah-rempah,
kerajaan Tidore banyak didatangi oleh Bangsa-bangsa Eropa. Bangsa Eropa yang
datang ke Maluku, antara lain Portugis, Spanyol, dan Belanda.
Ø Wilayah Kekuasaan
Pada masa
kejayaannya, wilayah kerajaan Tidore mencakup kawasan yang cukup luas hingga
mencapai Kepulauan Pasifik. Wilayah sekitar pulau Tidore yang menjadi bagian
wilayahnya adalah Papua, gugusan pulau-pulau Raja Ampat dan pulau Seram. Di
Kepulauan Pasifik, kekuasaan Tidore mencakup Mikronesia, Kepulauan Marianas,
Marshal, Ngulu, Kepulauan Kapita Gamrange, Melanesia, Kepulauan Solomon dan
beberapa pulau yang masih menggunakan identitas Nuku, seperti Nuku Haifa, Nuku
Oro, Nuku Maboro dan Nuku Nau. Wilayah lainnya yang termasuk dalam kekuasaan
Tidore adalah Haiti dan Kepulauan Nuku Lae-lae, Nuku Fetau, Nuku Wange dan Nuku
Nono.
Ø Struktur Pemerintahan
Sistem
pemerintahan di Tidore cukup mapan dan berjalan dengan baik. Struktur tertinggi
kekuasaan berada di tangan sultan. Menariknya, Tidore tidak mengenal sistem
putra mahkota sebagaimana kerajaan-kerajaan lainnya di kawasan Nusantara.
Seleksi sultan dilakukan melalui mekanisme seleksi calon-calon yang diajukan
dari Dano-dano Folaraha (wakil-wakil marga dari Folaraha), yang terdiri dari
Fola Yade, Fola Ake Sahu, Fola Rum dan Fola Bagus. Dari nama-nama ini, kemudian
dipilih satu di antaranya untuk menjadi sultan.
Ketika
Tidore mencapai masa kejayaan di era Sultan Nuku, sistem pemerintahan di Tidore
telah berjalan dengan baik. Saat itu, sultan (kolano) dibantu oleh suatu Dewan
Wazir, dalam bahasa Tidore disebut Syara, adat se nakudi. Dewan ini dipimpin
oleh sultan dan pelaksana tugasnya diserahkan kepada Joujau (perdana menteri).
Anggota Dewan wazir terdiri dari Bobato pehak raha (empat pihak bobato; semcam
departemen) dan wakil dari wilayah kekuasan. Bobato ini bertugas untuk mengatur
dan melaksanakan keputusan Dewan Wazir. Empat bobato tersebut adalah:
1.
Pehak labe, semacam departemen agama yang membidangi masalah syariah.
Anggota pehak labe terdiri dari para kadhi, imam, khatib dan modem
2.
Pehak adat bidang pemerintahan dan kemasyarakatan yang terdiri dari Jojau,
Kapita Lau (panglima perang), Hukum Yade (menteri urusan luar), Hukum Soasio
(menteri urusan dalam) dan Bobato Ngofa (menteri urusan kabinet).
3.
Pehak Kompania (bidang pertahanan keamanan) yang terdiri dari Kapita Kie,
Jou Mayor dan Kapita Ngofa.
4.
Pehak juru tulis yang dipimpin oleh seorang berpangkat Tullamo (sekretaris
kerajaan). Di bawahnya ada Sadaha (kepala rumah tangga), Sowohi Kie (protokoler
kerajaan bidang kerohanian), Sowohi Cina (protokoler khusus urusan orang Cina),
Fomanyira Ngare (public relation kesultanan) dan Syahbandar (urusan
administrasi pelayaran).
Selain itu
masih ada jabatan lain yang membantu menjalankan tugas pemerintahan, seperti
Gonone yang membidangi intelijen dan Serang oli yang membidangi urusan
propaganda.
Ø Kehidupan Sosial Budaya
Tidore telah menjadi pusat pengembangan agama
Islam di kawasan kepulauan timur Indonesia sejak dulu kala. Karena kuatnya
pengaruh agama Islam dalam kehidupan mereka, maka para ulama memiliki status
dan peran yang penting di masyarakat. Kuatnya relasi antara masyarakat Tidore
dengan Islam tersimbol dalam ungkapan adat mereka: Adat ge mauri Syara, Syara
mauri Kitabullah (Adat bersendi Syara, Syara bersendi Kitabullah). Perpaduan
ini berlangsung harmonis hingga saat ini. Berkenaan
dengan garis kekerabatan, masyarakat Tidore menganut sistem matrilineal. Namun,
tampaknya terjadi perubahan ke arah patrilineal seiring dengan menguatnya
pengaruh Islam di Tidore. Klen patrilineal yang terpenting mereka sebut soa.
Dalam sistem adat Tidore, perkawinan ideal adalah perkawinan antar saudara
sepupu (kufu). Setelah pernikahan, setiap pasangan baru bebas memilih lokasi
tempat tinggal, apakah di lingkungan kerabat suami atau istri. Dalam
antropologi sering disebut dengan utrolokal. Dalam usaha untuk menjaga
keharmonisan dengan alam, masyarakat Tidore menyelenggarakan berbagai jenis
upacara adat. Di antara upacara tersebut adalah upacara Legu Gam Adat Negeri,
upacara Lufu Kie daera se Toloku (mengitari wilayah diiringi pembacaan doa
selamat), upacara Ngam Fugo, Dola Gumi, Joko Hale dan sebagainya.
Untuk
berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari, orang Tidore menggunakan bahasa
Tidore yang tergolong dalam rumpun non-Austronesia. Dengan bahasa ini pula,
orang Tidore kemudian mengembangkan sastra lisan dan tulisan. Bentuk satra
lisan yang populer adalah dola bololo (semacam peribahasa atau pantun kilat),
dalil tifa (ungkapan filosofis yang diiringi alat tifa atau gendang), kabata
(sastra lisan yang dipertunjukkan oleh dua regu dalam jumlah yang genap,
argumennya dalam bentuk syair, gurindam, bidal dsb). Sebagian di antara satra
lisan ini disampaikan dan dipertunjukkan dengan iringan alat tifa, sejenis
gendang. Sasra tulisan juga cukup baik berkembang di Tidore, hal ini bisa
dilihat dari peninggalan manuskrip kesultanan Tidore yang masih tersimpan di
Museun Nasional Jakarta. Dan boleh jadi, manuskrip-manuskrip tersebut masih
banyak tersebar di tangan masyarakat secara individual.Untuk mencukupi
kebutuhan sehari-hari, orang-orang Tidore banyak yang bercocok tanam di ladang.
Tanaman yang banyak ditanam adalah padi, jagung, ubi jalar dan ubi kayu. Selain
itu, juga banyak ditanam cengkeh, pala dan kelapa. Inilah rempah-rempah yang
menjadikan Tidore terkenal, dikunjungi para pedagang asing Cina, India dan
Arab, dan akhirnya menjadi rebutan para kolonial kulit putih.
Ø Masuknya Bangsa Eropa Ke
Tidore
Sultan kedua
Tidore adalah Almansur yang naik takhta pada tahun 1512 dan kemudian ia
menetapkan Mareku sebagai pusat pemerintahan. Ia adalah Sultan yang menerima
kedatangan Spanyol di Tidore untuk beraliansi secara strategis sebagai jawaban
atas aliansi yang dibangun oleh Ternate dan Portugis. Spanyol tiba di Tidore
pada tanggal 8 November 1521, turut serta dalam rombongan kapal armada
Magellan, Pigafetta, seorang etnolog dan sejarawan Italia. Sultan Almansur
memberikan tempat bagi Spanyol untuk melakukan perdagangan di Tidore. Sepotong
kain merah ditukar dengan cengkih satu bahar (550 pon), 50 pasang gunting
dengan satu bokor cengkih, tiga buah gong dengan dua bokor cengkih. Dengan
cepat cengkih di seluruh Tidore ludes, sehingga harus dicari di tempat lain
seperti Moti, Makian dan Bacan. Demikianlah kerjasama antara Tidore dan Spanyol
semakin berkembang, tidak hanya di bidang perekonomian tetapi juga di bidang
militer.Pada tahun 1524, didasari persaingan ekonomi berupa penguasaan wilayah
perdagangan rempah-rempah, pasukan gabungan Ternate dan Portugis yang berjumlah
600 orang menyerbu Tidore dan berhasil masuk ke ibukota Mareku. Hal yang
menarik adalah, meski serangan gabungan tersebut mencapai ibukota Tidore,
mereka tidak dapat menguasai Tidore sepenuhnya dan berhasil dipukul mundur
beberapa waktu kemudian. Dua tahun berikutnya (1526) Sultan Almansur wafat
tanpa meninggalkan penggan.
Kegagalan serangan tersebut berujung dilakukannya
perjanjian Zaragosa antara Raja Portugis, John III dan Raja Spanyol, Charles V
pada tahun 1529. Dengan imbalan sebesar 350.000 ducats, Charles V bersedia
melepaskan klaimnya atas Maluku, namun demikian hal tersebut tidak serta merta
menyebabkan seluruh armada Spanyol keluar dari Maluku. Pada tahun yang sama
dengan Perjanjian Zaragosa, putera bungsu Almansur, Amiruddin Iskandar
Zulkarnaen, dilantik sebagai Sultan Tidore dengan dibantu oleh Kaicil Rade seorang
bangsawan tinggi Kesultanan Tidore sebagai Mangkubumi. Dimasanya terjadi
tribulasi, ketika Gubernur Portugis di Ternate, Antonio Galvao, memutuskan
untuk kembali meyerang Tidore. Pasukan Portugis mendapatkan kemenangan atas
Tidore pada tanggal 21 Desember 1536 dan mengakibatkan Tidore harus menjual
seluruh rempah-rempahnya kepada Portugis dengan imbalan Portugis akan
meninggalkan Tidore.
Pada
tahun 1547, Sultan Amiruddin Iskandar Zulkarnaen wafat dan digantikan oleh
Sultan Saifuddin, demikian pula tongkat estafet kesultanan berikutnya,
berturut-turut Kie Mansur, Iskandar Gani dan Gapi Baguna hingga tahun 1599.
Pada era tersebut tidak terjadi sesuatu yang luar biasa di Kesultanan Tidore,
kecuali pada tahun 1578 Portugis membangun Benteng “Dos Reis Mogos” di Tidore.
Namun demikian benteng tersebut tidak mencampuri urusan internal kesultanan.Kejadian penting lainnya yang patut dicatat adalah terjadinya unifikasi
kekuatan Portugis dan Spanyol di Maluku di bawah pimpinan Raja Spanyol pada
tahun 1580. Sehingga demikian semua benteng Portugis dan Spanyol di seluruh
kepulauan Maluku dapat digunakan oleh kedua belah pihak.Unifikasi ini
sebenarnya didahului oleh kejadian sebelumnya, yaitu penaklukan benteng
Portugis-Gamlamo di Ternate oleh Sultan Babullah, Sultan Ternate terbesar, pada
tanggal 26 Desember 1575. Menyerahnya Gubernur Portugis terakhir di Maluku,
Nuno Pareira de Lacerda, menunjukkan berakhirnya kekuasaan Portugis di
Nusantara. Hal ini mengakibatkan mau tidak mau armada perang Portugis membentuk
persekutuan dengan Spanyol di kepulauan Maluku.
Pada
tanggal 26 Maret 1606, Gubernur Jenderal Spanyol di Manila, Don Pedro da Cunha,
mulai membaca gerak-gerik VOC-Belanda memperluas wilayah dagangnya hingga
Maluku. Karena merasa terancam dengan kehadiran armada dagang VOC-Belanda yang
mulai menjalin kerjasama dengan Kesultanan Ternate, ia memimpin pasukan
menggempur Benteng Gamlamo tentu saja dengan bantuan dari Tidore yang pada
waktu itu dipimpin oleh Sultan Mole Majimu. Spanyol berhasil menguasai Benteng Gamlamo
di Ternate, tetapi tidak lama setelah itu VOC Belanda berhasil pula membuat
benteng yang kemudian disebut sebagai “Fort Oranje” pada tahun 1607 di sebelah
timur laut Benteng Gamlamo serta membangun garis demarkasi militer dengan
Spanyol. Paulus van Carden ditujuk sebagai Gubernur Belanda pertama di
Kepulauan Maluku.
Ketika Sultan Tidore ke 12 memerintah yaitu
Sultan Saifudin, pada tahun 1663 secara mengejutkan Spanyol menarik seluruh
kekuatannya dari Ternate, Tidore dan Siau yang berada di Sulawesi Utara ke
Filipina. Gubernur Jenderal Spanyol yang berada Manila, Manrique de Lara,
membutuhkan semua kekuatan untuk mempertahankan Manila dari serangan bajak laut
Cina, Coxeng. Gubernur Spanyol di Maluku, Don Francisco de Atienza Ibanez,
nampak meninggalkan kepulauan Maluku pada bulan Juni 1663. Maka berakhirlah
kekuasaan Spanyol di Kepulauan Maluku.
Dengan
tiadanya dukungan militer dari Spanyol, otomatis kekuatan Tidore melemah dan
VOC-Belanda menjadi kekuatan militer terbesar satu-satunya di kepulauan yang
kaya dengan rempah-rempah itu. Akhirnya Sultan Saifudin kemudian melakukan
perjanjian dengan Laksamana Speelman dari VOC-Belanda pada tanggal 13 Maret
1667 yang mana isinya adalah : (1) VOC mengakui hak-hak dan kedaulatan
Kesultanan Tidore atas Kepulauan Raja Empat dan Papua daratan (2) Kesultanan
Tidore memberikan hak monopoli perdagangan rempah-rempah dalam wilayahnya
kepada VOC. Batavia kemudian mengeluarkan Ordinansi untuk Tidore
yang membatasi produksi cengkeh dan pala hanya pada Kepulauan Banda dan Ambon.
Di luar wilayah ini semua pohon rempah diperintahkan untuk dibasmi. Pohon-pohon
rempah yang ‘berlebih’ ditebang untuk mengurangi produksi rempah sampai
seperempat dari masa sebelum VOC-Belanda memegang kendali perdagangan atas
Maluku.
Apa yang
dilakukan oleh VOC-Belanda tersebut, yaitu memusnahkan atau eradikasi
pohon-pohon cengkih di Kepulauan Maluku, disebut sebagai “Hongi Tochten”.
Kesultanan Ternate sebenarnya telah terlebih dahulu mengadakan perjanjian yang
berkenaan dengan “Hongi Tochten” pada tahun 1652 kemudian disusul oleh Tidore
beberapa waktu berikutnya setelah Tidore mengakui kekuatan ekonomi-militer
Belanda di Maluku. Pihak kesultanan menerima imbalan tertentu (recognitie
penningen) dari pihak VOC akibat operasi ini. “Hongi Tochten” dilakukan akibat
banyaknya penyelundup yang memasarkan cengkih ke Eropa sehingga harga cengkih
menjadi turun drastis. Sepeninggal Sultan Saifudin,
Kesultanan Tidore semakin melemah. Banyaknya pertentangan dan pemberontakan di
kalangan istana kesultanan menyebabkan Belanda dengan begitu mudah mencaplok
sebagian besar wilayah Tidore. Hal ini mencapai puncaknya hingga pemerintahan
Sultan Kamaluddin (1784-1797), dimana sejarawan mencatat bahwa sultan ini
memiliki perangai yang kurang baik. Namun demikian lambat laun situasi mulai
berubah ketika Tidore memiliki Sultan yang terbesar sepanjang sejarah mereka
yaitu Sultan Nuku.
Pada tahun
1780, Nuku memproklamasikan dirinya sebagai Sultan Tidore dan menyatakan bahwa
kesultanan-nya sebagai wilayah yang merdeka lepas dari kekuasaan VOC-Belanda.
Kesultanan Tidore yang dimaksudkan olehnya meliputi semua wilayah Tidore yang
utuh yaitu : Halmahera Tengah dan Timur, Makian, Kayoa, Kepulauan Raja Ampat,
Papua Daratan, Seram Timur, Kepulauan Keffing, Geser, Seram Laut, Kepulauan
Garang, Watubela dan Tor. Setelah berjuang beberapa tahun,
Sultan Nuku memperoleh kemenangan yang gemilang. Ia berhasil membebaskan
Kesultanan Tidore dari kekuasaan Belanda dan mengembalikan pamornya. Penghujung
abad ke-18 dan permulaan abad ke-19 adalah era keemasan Tidore di bawah Nuku.
Pada titik ini, kebesaran Sultan Nuku dapat dibandingkan dengan keagungan
Sultan Babullah yang telah mengusir Portugis dari Ternate.
Kemenangan-kemenangan
yang diraih Sultan Nuku juga tidak lepas dari kondisi politik yang terjadi di
negeri Belanda. Tahun 1794, Napoleon Bonaparte menyerbu Belanda yang
mengakibatkan Raja Willem V mengungsi ke Inggris. Selama menetap di Inggris, ia
mengeluarkan instruksi ke seluruh Gubernur Jenderal daerah jajahannya agar menyerahkan
daerahnya ke Inggris supaya tidak jatuh ke tangan Perancis. Tahun 1796, Inggris
menduduki. Ditambah dengan bubarnya VOC pada Desember 1799, maka hal ini
semakin memperlemah kedudukan Belanda di Kepulauan Maluku.
Tetapi pada
tanggal 14 November 1805, Tidore kehilangan seorang sultan yang pada masa
hidupnya dikenal sebagai “Jou Barakati” atau di kalangan orang Inggris disapa
dengan “Lord of Forrtune”. Wafatnya Sultan Nuku dalam usia 67 tahun tidak hanya
membawa kesedihan bagi rakyat Malaku, tetapi juga memberikan kedukaan bagi
rakyat Tobelo, Galela dan Lolada yang telah bergabung ke dalam barisan Nuku
sejak awal perjuangannya
Selain memiliki
kecerdasan dan karisma yang kuat, Sultan Nuku terkenal akan keberanian dan
kekuatan batinnya. Ia berhasil mentransformasi masa lalu Maluku yang kelam ke
dalam era baru yang mampu memberikan kepadanya kemungkinan menyeluruh untuk
bangkit dan melepaskan diri dari segala bentuk keterikatan, ketidakbebasan dan
penindasan.
Ø Kemunduran Kerajaan Tidore
Mundurnya
Kerajaan Tidore disebabkan karena diadu domba dengan Kerajaan Ternate yang
dilakukan oleh bangsa asing ( Spanyol dan Portugis ) yang bertujuan untuk
memonopoli daerah penghasil rempah-rempah tersebut. Setelah Sultan Tidore dan
Sultan Ternate sadar bahwa mereka telah Diadu Domba oleh Portugis dan Spanyol,
mereka kemudian bersatu dan berhasil mengusir Portugis dan Spanyol ke luar
Kepulauan Maluku. Namun kemenangan tersebut tidak bertahan lama sebab VOC yang
dibentuk Belanda untuk menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku berhasil
menaklukkan Ternate dengan strategi dan tata kerja yang teratur, rapi dan
terkontrol dalam bentuk organisasi yang kuat.
Tidore
merupakan salah satu pulau kecil yang terdapat di gugusan kepulauan Maluku
Utara, tepatnya di sebelah barat pantai pulau Halmahera. Sebelum Islam datang
ke bumi Nusantara, pulau Tidore dikenal dengan nama; “Limau Duko” atau “Kie
Duko”, yang berarti pulau yang bergunung api. Penamaan ini sesuai dengan
kondisi topografi Tidore yang memiliki gunung api –bahkan tertinggi di gugusan
kepulauan Maluku– yang mereka namakan gunung “Kie Marijang”. Saat ini,
gunung Marijang sudah tidak aktif lagi. Nama Tidore berasal dari gabungan tiga
rangkaian kata bahasa Tidore, yaitu : To ado re, artinya, ‘aku
telah sampai’.
Sejak awal
berdirinya hingga raja yang ke-4, pusat kerajaan Tidore belum bisa dipastikan.
Barulah pada era Jou Kolano Balibunga, informasi mengenai pusat
kerajaan Tidore sedikit terkuak, itupun masih dalam perdebatan. Tempat tersebut
adalah Balibunga, namun para pemerhati sejarah berbeda pendapat dalam
menentukan di mana sebenarnya Balibunga ini. Ada yang mengatakannya di Utara
Tidore, dan adapula yang mengatakannya di daerah pedalaman Tidore selatan.
Pada tahun
1495 M, Sultan Ciriliyati naik tahta dan menjadi penguasa Tidore
pertama yang memakai gelar Sultan. Saat itu, pusat kerajaan berada di Gam
Tina. Ketika Sultan Mansyur naik tahta tahun 1512 M, ia
memindahkan pusat kerajaan dengan mendirikan perkampungan baru di Rum
Tidore Utara. Posisi ibukota baru ini berdekatan dengan Ternate, dan diapit
oleh Tanjung Mafugogo dan pulau Maitara. Dengan keadaan laut yang indah
dan tenang, lokasi ibukota baru ini cepat berkembang dan menjadi pelabuhan yang
ramai.
Dalam
sejarahnya, terjadi beberapa kali perpindahan ibukota karena sebab yang
beraneka ragam. Pada tahun 1600 M, ibukota dipindahkan oleh Sultan Mole
Majimo (Ala ud-din Syah) ke Toloa di selatan Tidore.
Perpindahan ini disebabkan meruncingnya hubungan dengan Ternate, sementara
posisi ibukota sangat dekat, sehingga sangat rawan mendapat serangan. Pendapat
lain menambahkan bahwa, perpindahan didorong oleh keinginan untuk berdakwah
membina komunitas Kolano Toma Banga yang masih animis agar
memeluk Islam. Perpindahan ibukota yang terakhir adalah ke Limau Timore
di masa Sultan Saif ud-din (Jou Kota). Limau Timore ini
kemudian berganti nama menjadi Soa-Sio hingga saat ini.
Ø EKSPANSI TIDORE KE TIMUR
NUSANTARA
Selain Kerajaan Ternate, Kerajaan Tidore juga merupakan salah satu Kerajaan
besar di jazirah Maluku Utara yang mengembangkan kekuasaannya terutama ke
wilayah selatan pulau Halmahera dan kawasan Papua bagian barat. Sejak 600 tahun
yang lalu Kerajaan ini telah mempunyai hubungan kekuasaan hingga sampai ke
Irian Barat (Pesisir Tanah Papua) sebagai wilayah taklukannya. Waktu itu, yang
memegang kendali kekuasaan pemerintahan di Kerajaan Tidore, ialah Sultan
Mansyur, Sultan Tidore yang ke 12. Menurut (Almarhum) Sultan Zainal Abidin “Alting”
Syah, Sultan Tidore yang ke 36, yang dinobatkan di Tidore pada tanggal
27 Perbruari 1947, yang bertepatan dengan tanggal 26 Rabiulawal 1366.H, bahwa
Kerajaan Tidore terdiri dari 2 bagian, yaitu:
1.
Nyili Gam
a) Yade Soa-Sio se Sangadji se
Gimelaha
b) Nyili Gamtumdi
c) Nyili Gamtufkange
d) Nyili Lofo-Lofo
2.
Nyili Papua (Nyili Gulu-Gulu).
a) Kolano Ngaruha (Raja Ampat)
b) Papua Gam Sio
c) Mavor Soa Raha
Sumber referensi :